Sabtu, 15 April 2017

DILAN DAN AIR MATAKU


Pernah baca buku Dilan, Dia Adalah Dilanku Tahun 1990? Atau Dilan, Dia Adalah Dilanku Tahun 1991? Atau Milea, Suara Dari Dilan?

Aku nggak tau buku ini populer atau nggak. Pertama kali aku tertarik baca karena ada beberapa postingan di instagram yang captionnya tentang sebaris kalimat, “Perpisahan adalah upacara menyambut hari-hari penuh rindu. – Dilan”

Sudah sekian lama aku gak berkutat dengan novel lagi. Entah, mungkin karena sudah lelah dengan aktivitas di sekolah atau lebih tertarik membaca stories di sosmed. Atau bisa juga lebih tertarik ngobrol pake jempol. Pokoknya udah jarang banget baca novel, dan berujung pada : gak pernah lagi nulis cerpen. Kalo nulis blogpost ya seadanya aja gini. Gak pernah romantis lagi seromantis cerpen2 aku yang sudah2.

Tapi aku bukan mau bahas itu. Aku mau cerita tentang novel yang baru kutuntaskan tadi malam. Novel romantik remaja yang ditulis Pidi Baiq untuk mengenang perjalanan cinta Dilan dan Milea semasa SMA. Dalam hal ini aku bukan mau bikin resensi. Aku Cuma mau cerita.

Ini kisah masa lalu yang mau nggak mau buat aku teringat ke masa lalu juga. Dilan dan Milea bisa serta merta ngebuat aku ngayal mereka ada di dunia nyata. Entah gimana, Pidi Baiq dengan gaya nulisnya yang banyak banget kata “yaitu” nya itu berhasil bikin aku merasa masuk ke cerita. Aku bisa ngerasain suasana waktu Dilan, Milea dan kawan2 lagi nongkrong di warung Bi Eem. Aku bisa merasakan suasana Bandung zaman dulu dengan asrinya, dinginnya, jalan raya yang sepi. Aku bisa ngerasain suasana hati Milea yang bahagia di boncengan Dilan. Aku bisa merasakan setiap senti kerinduan Dilan pada Milea meski mereka baru saja bertemu. Dan pada akhirnya aku bener2 nangis karena bisa merasakan hampanya hari2 Dilan setelah mereka putus.

Ini kisah anak muda memang. Isinya tentang pasangan muda mudi yang jatuh cinta. Tentang dilema yang harus Dilan hadapi, antara Milea atau geng motornya. Tentang apa yang harus Dilan utamakan, cinta atau persahabatan.

Novel ini berhasil bikin aku senyum, sesekali nyengir, dan di beberapa bagian menangis.

Aku bukan tipikal orang yang terlalu perasa sebenarnya. Hanya saja ada beberapa kejadian akhir2 ini yang membuat sisi melankolisku mendadak muncul. Kupikir, saat suasana hatiku sedang baik2 saja, mungkin aku gak bakal nangis membaca ending cerita yang ditulis Baiq. Bayangkan, hanya dengan kalimat Dilan, “Semoga kita kuat ya, Lia.” Air mataku bercucuran. Entah. Bayangan masa lalu memang kerap membuat kita jadi seperti bukan diri kita.

Yang terbayang di kepalaku bukan melulu tentang masa lalu sebenarnya. Kalau boleh jujur, justru yang teringat dibenakku tentang masa lalu, hanya yang indah2 saja. Tentang cinta pertama yang gak pernah kesampean, tapi aku bahagia. Kurasa aku perlu sedikit cerita. Supaya nanti suatu ketika, aku punya bahan jikalah ada orang macam Baiq yang nyasar ke rumahku dan ingin tau kisah cintaku. :v

Masa putih abu2ku kuhabiskan dengan aktif di ekstra kurikuler sekolah, marching band. Namanya Bimanda. Bergelut di organisasi itu dari kelas X sampai XII ngebuat aku berjarak dengan teman2 sekelas. Aku lebih dekat dengan teman2 di Bimanda. Hari2ku habis di sekretariat Bimanda. Apa ini hanya karena aku memang menyukai dunia musik? Tentu saja bukan. Aku ke sekret hanya karena ingin melihat seseorang.

Demi kebaikan bersama, nama2 mereka yang terlibat di cerita ini kusamarkan saja ya. Hehe.

Di organisasi itu, seorang player (bukan karena dia playboy! Tapi di dunia marching band, pemain memang disebut player.) yang meniup trumpet telah mencuri perhatianku. Dia memang punya posisi bagus. Di beberapa display kami, ada part yang dia bermain solo. Itu mengagumkan memang. Aku yakin sekali banyak junior yang jatuh cinta padanya. Hanya saja, sayang sekali, dia sudah punya pacar saat itu. Dan pacarnya adalah seniorku di CG (Colour Guard). Hahaha. Lucu memang.

Paling nggak, akhirnya masa itu aku sudah tau rasanya gimana jadi seorang secret admirer. Wkwkwk. aku gak pernah pacaran dengan dia, tapi aku bahagia karena di hari2ku selalu ada dia. Nah loh. Enakan jadi gue kayaknya daripada pacarnya sendiri yang konon katanya lebih sering berantem daripada baikan. :v

Jadi kalo ini yang ada di masa SMA, kenapa aku bisa nangis ngebaca kisah Dilan dan Milea?

Aku terharu dengan keteguhan hati Dilan untuk tetap bersikap baik ke Milea, dan Milea yang juga bersikap baik ke Dilan setelah mereka berpisah dan gak ketemu beberapa lama.

Itu gak gampang. Paling nggak itu gak gampang kalo seperti yang pernah aku alami. Lost contact adalah pilihan paling bijak untuk menghadapi masa demikian. Masih enakan zaman Dilan dan Milea. Saat itu belum ada sosmed. Kalo mau komunikasian Cuma telepon rumah doang. Itu tuh masih enak tauk. Lah sekarang, kalo bener2 mau lost contact harus ngeblok segala sesuatu yang berkaitan dengan yang bersangkutan. Wiiihh. -_-“

Dan kemudian imajinasiku bermain kemasa dimana saat aku putus aku masih harus sering ketemu. Gimana aku bisa berjuang menyelesaikan hari saat aku harus benar2 kembali menikmati hidup pasca pisah. Gimana aku harus bisa bangkit dari segala keterpurukan yang pasti akan menghampiri jika itu terjadi. Ahh, untungnya itu hanya di imajinasi. Untungnya aku gak pacaran. Jadi aku gak bakal putus. Untungnya aku gak pernah memiliki, jadi aku gak bakal kehilangan. Ahh, alhamdulillah.

Membayangkan Dilan dan Milea dengan perpisahan mereka, dengan air mataku yang terus tumpah, aku teringat sebaris doa yang pernah ditulis Bang Zakaria, teman lamaku di S1, yang kemudian kubaca ulang sebelum aku tertidur karena kelelahan menangis.

“Jika dia memang adalah yang engkau pilihkan untukku, ya Rabb, mohon satukan kami dalam ridhoMu. Namun jika tidak, maka pisahkan kami dengan cara yang baik.”

Malam itu hujan deras. Tapi yang membasahi pipiku bukan tempias hujan, melainkan air mataku yang dibuat luruh oleh Dilan.[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar