Rabu, 29 Maret 2017

DEAR ME ; ANAK KEMAREN SORE, YANG MASIH IJO, DAN TAK TAHU APA-APA



Alhamdulillahirabbilalamiin.

Finally setelah sekian banyak kesibukan, mulai dari seminar hasil, sidang tertutup, mengawas ujian mid semester, USBN, ngoreksi, dan menyelesaikan raport, aku bisa kembali buka laptop buat relaksasi. Kemaren2 kalo buka laptop yang dibuka Mc. Excel dan Power Point mulu soalnya. Akhirnya hari ini bisa buka word. Bisa curhat dengan segala pernak pernik keidupan yang warna warni, pait, asem, manise pooolll. Hahahhaa. Wanna see? Lets join me!

Belakangan ini ada beberapa hal yang menyadarkan aku kalo aku ini adalah newbie banget. Im so sooo newbie. Ternyata selama ini aku terjebak di kubangan “sok tau” dan “sok oke” yang parah banget. Sampai mungkin kesombongan merasuki hatiku. Naudzubillah.

Blogpost ini kutulis sebenarnya selain untuk media relaksasi juga sebagai media introspeksi diri. Utamanya karena baru-baru ini aku mendapat tamparan keras oleh kalimat, “helloo... lo tau apa? Anak kemaren sore, masih ijo.”

Deg!

Seketika aku tersadar. Ya, aku memang anak kemarin sore. Aku memang masih ijo dan gak tau apa2. Gak tau apa2 dan bego itu emang gak jauh beda. And thats me. T_T

Sejauh ini, aku mengajar memang masih baru banget. Usiaku masih muda banget kalo dibandingin dengan mereka, rekan kerja yang rata2 sudah punya sertifikat guru profesional. Dari segi ilmu, pengalaman, cara menyikapi masalah, dan sebagainya jelas mereka tak diragukan lagi. Kalo dibandingin sama aku sih gak ada apa2nya. Tapi dengan ke-tidak ada apa2nya- ini, aku kok bisa jadi bertingkah sok oke ya?
 
Aku gak tau ini sebentuk tamparan atau jitakan atau tonjokan. Yang pasti ini nyakitin.

Tapi meski demikian, ada beberapa hal yang aku pelajari dan hikmah yang aku ambil dari tamparan keras itu walaupun sebenarnya aku tersinggung gak ketulungan.

Pertama, aku jadi sadar dengan sesadar2nya orang sadar kalo aku memang adalah seorang newbie yang kudu bersikap dan bertingkah layaknya seorang newbie.



Kedua, aku jadi paham, bahwa seorang newbie tidak pantas berkomentar banyak atas situasi apapun yang melibatkan para senior meskipun memang ada aku di dalamnya.

Ketiga, diam adalah mutiara. Di beberapa kondisi, aku pernah tak sepakat dengan kalimat “diam adalah emas” karena selagi kita bisa bicara yang baik, maka bicara lah. Yang benar itu memang hadist “barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka hendaklah ia berkata baik atau diam”. Namun di kasus-ku kemaren, aku berpendapat bahwa diam adalah mutiara. Porsiku sebagai anak kemaren sore masih terlalu sedikit untuk bisa bersuara, meski aku saat itu aku merasa diriku benar.

Keempat, suatu kesalahan jika sudah didukung banyak orang akan menjadi kebenaran. Dan kebenaran yang tidak punya pendukung akan tetap menjadi benar tapi tidak “dibenarkan.” Kadang, kita merasa aman hanya karena banyak teman2 kita yang melakukan hal yang sama. Kita sadar betul kita salah, tapi karena kita berada di antara orang ramai yang tidak mempermasalahkan hal tersebut, kita santai. Kenapa tidak dipermasalahkan? Karena kita sama2 keliru. Sementara pihak yang benar, akan diasingkan karena dia berjalan sendirian. Semakin kemari, semakin tebal kabut yang memisahkan mana yang benar dan mana yang salah.

Kelima, tanyakan sesuatu kepada yang memiliki kapasitas untuk menjawab. Dan jawablah pertanyaan hanya jika kita merasa memiliki kapasitas untuk menjawab. Ini sering digaungkan kepala sekolah kami, dan itu benar. Jika selama ini aku hanya mengiyakan dalam diam, kali ini karena sudah kejadian jelas di depan mata, aku benar2 mengangguk setuju.

Keenam, semakin banyak kepala, semakin banyak pula pemikiran. Semakin banyak orang pintar, semakin banyak pula yang merasa dirinya benar. Miss communication dan miss understanding akan menjadi hal yang biasa dan akan menjadi sesuatu yang lumrah. Dalam suatu instansi pasti akan ada konflik2 kecil, itu biasa. Hanya, bagaimana kita menyikapi konflik tersebut agar tidak membesar dan melebar.


Ketujuh, kita secara pribadi adalah seseorang yang ingin dibela. Bahkan dalam situasi bersalah sekalipun. Dan biasanya, kita akan menuntut orang yang dekat dengan kita, teman2 baik kita, untuk ada di pihak kita. Rasa kecewa yang tadinya hanya sekelumit, hanya seujung kuku, bisa jadi kekecewaan seutuhnya. Kita jadi merasa sendirian. Kita merasa tak punya teman. Meski akhirnya teman2 kita datang menghampiri untuk menepuk2 bahu kita, menguatkan, kita akan menganggap dia pengkhianat. Ya, harusnya dia ada disebelah kita, mendukung dan membela. Bukannya malah ikut memojokkan. Dalam hal ini, aku mengambil pelajaran, tepikan ego meski kita merasa benar, demi menghargai orang yang kita anggap teman.

Kedelapan, pertengkaran dan ribut2 kecil, sampai perang besar itu bisa terjadi kapan saja dan dimana saja. Saat kedua belah pihak sedang dalam ego tertinggi, tak akan ada yang bisa menyelesaikan. Jadi, jangan larut dalam ego. Salah satunya harus mendinginkan suasana, harus ada yang mengalah. Harus ada cara agar pertengkaran itu tidak terus berlanjut, dan suasana kembali membaik. Butuh proses memang, tapi proses itu harus segera dimulai. Hadapi, dan selesaikan.

Kesembilan, tidak semua yang kejadian akan berjalan sesuai dengan yang kita harapkan. Jadi tempa diri untuk kokoh di atas pijakan sendiri. Kita akan menghadapi tamparan, jitakan, dan tonjokan lagi. Entah dengan sikap atau dengan lisan. Jadi kuatkan hati, kuatkan diri. Bersabarlah, ini ujian.


Kesepuluh, ini yang terakhir. Sebagai anak kemarin sore, yang masih ijo dan memang gak tau apa2, maka jangan pernah tersinggung dengan perkataan “helloo... lo tau apa? Anak kemaren sore, masih ijo.” Karena itu memang kenyataannya.

So, selamat kepada hatiku. Aku bangga padamu.

Terima kasih atas segala tamparan, jitakan, dan tonjokan. Kalau tidak begini, aku tidak akan sadar siapa diriku. Terima kasih. Pelajaran berharga ini takkan kulupa sepanjang hidupku.

1 komentar:

  1. jangan tersinggung mbak klu ada yang ngomongin demikian. pahala mengalir loh.
    semangat untuk menulis di blogspotnya mbak.

    BalasHapus