Senin, 26 September 2016

GOOD BYE – HELLO


Bismillahirrahmanirrahim

Ada yang pernah nonton film ini? Iya, judulnya sengaja aku balik. Film yang menceritakan tentang sepasang manusia yang saling jatuh hati justru saat mereka akan berpisah? Shootingnya di Korea loh. Bagus deh view nya. Kalo belom, coba2 search deh. Atau kalo nggak tertarik mah gapapa. Haha. Sebenernya sih aku bukan mau ngebahas film itu. Ada beberapa hal penting yang harus aku tulis disini, untuk mengabadikannya. Agar kelak, di suatu masa, ketika aku rindu, ada sesuatu yang bisa kubuka, kubaca, dan kukenang untuk kemudian abadi dalam ingatan. *hapasih?

Aku pernah nulis kalimat ini, “apapun, siapapun yang pernah singgah dalam hidupmu adalah sesuatu yang pasti berkontribusi dalam pendewasaan diri.” Tapi lupa nulisnya di sosmed yang mana. Haha.

Setiap hal yang cuma sekedar mampir aja, cuma numpang lewat aja, bisa jadi memberikan pesan yang dalam. Kayak kalo nungguin angkot, udah nunggu lama, eh pas lewat penuh pula. Dalem gak tuh? Keselnya maksudnya. Wkwkwk. Eh tapi, si angkot jadi ngajarin kita buat lebih sabar. Kalo kita peka, bisa jadi si angkot tadi nge-kode-in kita buat cari alternatif lain. Minta dijemput si em em misalnya. Atau pesen gojek. Atau biar gak repot, stopin becak aja. :v
 
Eh tapi, ini serius. Aku nulis ini untuk ungkapan terima kasih tak terhingga untuk sebuah wadah yang sudah menerimaku mengabdi disana hampir empat tahun lamanya. Tempat pertama kali aku mengenal dunia kerja. Yap, setelah lulus kuliah di Mei 2012, sekitar Juli 2012 aku mulai berjibaku dengan dunia pendidikan. Pendidikan? Iyap. Tepatnya sebagai tenaga kependidikan. Beda loh ya sama tenaga pendidik.

Disana aku berjibaku dengan berkas surat menyurat, laporan bulanan, laporan pertanggungjawaban, dan segala sesuatu yang bersifat administratif. Aku bener2 belajar. Sifat kurang teliti dan asal2an-ku, berhasil kubunuh disana. Pelan2, aku mulai menjadi aku yang baru. Aku yang lebih teliti, aku yang lebih teratur, dan aku yang lebih sabar. Karena gak lama, datanglah edaran dari Kemenag untuk pendataan EMIS, dan DAPODIK dari Dinas. Untuk kamu yang pernah atau bahkan sekarang sedang jadi operator pasti tau betapa meriahnya urusan dua biji produk itu. Apalagi karena waktu itu semua baru dimulai, gak ada temen sharing, dan beban di pundak semua. Cuman aku yang ngerti, dan artinya cuman aku yang bisa dan wajib menyelesaikan ini semua. Gak kehitung sih begadang2nya, nangis2nya, stres2nya, dan luapan bahagia pas semua sudah dilalui dengan baik. Aku menikmati posisiku. Meski dengan segala keluh kesahnya. Aku enjoy di mejaku meski saat penerimaan siswa baru aku keteteran. Pokoknya, aku mensyukuri hadiah Tuhan ini. Ia menempatkanku di tempat yang menurutNya layak dan baik.

Namun pada akhirnya, semua tiba pada masanya. Berawal dari insiden mengerikan yang kuterima sepulang kerja. Yang berefek pada aku harus memutuskan untuk memilih. Hmm, lebih tepatnya, menuruti pilihan orang tua. *hadeeehhh.. udah kayak kasus Siti Nubaya*

“Hari senin nanti gak usah masuk lagi. Udah, pindah ke Belawan aja. Biar gak bolak balik Medan – Belawan.”

Aku yang waktu itu lagi rebahan, berusaha ngilangin rasa sakit, shock. *Gile bener. Gue disuruh ninggalin pekerjaan gue dengan segitu simpelnya. Kayak gue gak punya tanggung jawab apa2 yang harus gue selesaikan dulu.*

Di satu sisi, itu perintah turun, pasti karena ortu sayang. Mereka yang lebih terluka saat tau anaknya terkena musibah. Mereka yang lebih shock dan gak kuat ngeliat aku yang terkulai lemah dengan kaki lebam2. Perintah itu adalah otoritas orang tua karena aku adalah anak perempuan. Dan anak perempuan adalah tanggungan orang tuanya sampai dia menikah. Well, kalopun aku laki2, kurasa aku gak bakal berani menentang perintah mereka.

Berbekal sedikit kemampuan negosiasi, aku berhasil meluluhkan hati mereka, dan akhirnya bisa menuntaskan pekerjaan berkategori urgen. Finally, aku bergegas. Melepas pekerjaan, melepas teman2 rasa saudara, dan melepas kenangan2 luar biasa. Seperti pertama kali aku diterima, aku dilepas dengan prosesi yang sama. Empat tahun bersama mereka, sukses membuatku tak sanggup menahan haru. Ya, perpisahan selalu menyisakan air mata. Satu per satu mereka bersuara, membuka kenangan awal pertemuan,  permohonan maaf, dan ucapan terima kasih. Sok tegar, aku terbata berujar, “semoga saya berhasil memberikan kenangan yang baik di hati ibu2, dan teman2 sekalian.” Kelu sekali ketika harus mengucapkan kalimat itu. Sedihnya luar biasa. Nyata paling haru adalah aku bakal jarang banget ketemu sama ibu2 yang sayangnya dan perhatiannya ke aku itu luar biasa. Bakal jarang banget ketemu sama partner kerja yang akhirnya ngebuat aku gak ngerasa terbeban sendiri, yang akhirnya aku punya temen sharing. Kayaknya baru bentar banget, dan sekarang aku harus melepas semuanya. T_T

Empat tahun bukan waktu yang sebentar untuk mengukirkan kenangan. Gak bakal abis2 ini blogpost kalo semuanya dituangin di mari. Tapi yang pasti, terima kasih atas segalanya. Terima kasih untuk pengalaman, pembelajaran, dan kekeluargaan yang terjalin di antara kita. Semoga masih ada celah untuk kita bersua sekedar mempererat ukhuwah. Aku sayang kalian karena Allah. *Lebay banget gue kalo udah sedih gini T_T

***

Btw, kenapa judul ini jadi kayak judul film Hallo-Good Bye, adalah karena ternyata setelah tanganku membuka, melepas sesuatu, Allah berikan aku ganti yang bisa kugenggam kembali. Setelah aku berair mata pilu, aku kembali berair mata haru.

Aku bergabung di instansi pendidikan baru, dengan rekan2 kerja baru, suasana baru, dan semoga akan menjadi keluarga baru. Mungkin ini hikmah dari insiden mengerikan itu. Aku berganti pekerjaan, jadi domisili di Belawan sama orang tua, dan bener, jadi gak bolak balik Medan – Belawan tiap hari. Gak secapek kemarin2.

Semoga akhirnya doa yang teman2 panjatkan untuk saya, “kerasan di tempat baru” benar2 diijabah Allah. Terima kasih, ya. :) Saya benar2 bersyukur pernah tergabung di naungan Yayasan Pendidikan Ibnu Halim. Semoga jaya selalu. :) :) :)






Minggu, 18 September 2016

MY JOURNEY – BUKIT GUNDALING




Bukit Gundaling :)





Matahari sudah di atas kepala ketika kaki-ku menapak di Tanah Karo Simalem. Dengan mata masih merem melek, alias kesadaran belum pulih 100% habis tidur di bus, aku menepi. Mencari tempat yang pas untuk isi lambung. Sudah tengah hari. Sebanyak apapun ngunyah snack yang memang sengaja dibeli di Medan untuk menjadi teman perjalanan, ternyata lambung-ku tetap adalah lambung orang Indonesia yang harus diisi nasi, baru damai. 

Masih jelas teringat isi obrolanku dengan Ilham, si anak Berastagi, tadi malam. Mulai dari upaya dia mengubah destinasi tujuan dengan mengajukan destinasi-destinasi lain, sampai bilang kalau destinasi-ku itu tempat yang membosankan. Beberapa destinasi yang diajukan Ilham sudah pernah kusambangi sebelumnya. Ya maklumlah, kemana lagi coba destinasi tujuan terdekat dari Kota Medan kalau bukan Berastagi dan sekitarnya. Saking mainstream-nya, gunung pun udah jadi tempat wisata yang gampang banget dijangkau. Ilham bilang, “Ke Sibayak aja, kak. Sekarang ke Sibayak udah bisa naik angkot, loh.” Aku geleng-geleng kepala, tertawa. Memang, sekarang yang namanya hiking ke Gunung Sibayak bukan lagi hobi-nya para pendaki. Anak alay pun bisa nyampek puncak Sibayak sekedar buat nyelfie sambil megang kertas salam-salam. Malah kata seorang teman, ke Sibayak itu bukan hiking, tapi piknik.
Tapi aku menolak tawaran si Anak Berastagi itu. Tujuanku keluar dari kepenatan Medan adalah untuk memanfaatkan sebaik-baiknya waktu liburan hari tasyrik yang tinggal sehari lagi. It means, besoknya aku harus masuk kerja. Dan kalo aku maksain naik pagi, turun sore, itu namanya lebay. Jadi aku tetap kekeuh dengan destinasi awal, Bukit Gundaling. Terakhir kali kesana kalo gak salah di semester awal di S1. Udah hampir lima tahunan gak kesana dan well, aku kayaknya harus kesana lagi deh.

Selesai makan, -kita makan persis di rumah makan muslim di sekitar tugu- biar gak capek2 jalan dan gak perlu ngongkos lagi kalo makan di tempat lain. Lagian Ilham gak ngasi rekomendasi tempat makan yang oke sih kemaren- aku bergegas sholat. Dinginnya air pegunungan lembut menyapa wajahku yang lelah. Ah, betapa rindunya dengan tanah kelahiran ini. Ternyata begini rasanya punya kampung halaman. Sekalipun hanya numpang lahir dan menuntaskan sekolah dasar, ternyata seperti ini yang namanya rindu. Kuta kemulihen. :”)

Desau angin gak Cuma menggelitik dan memainkan kerudung, tapi memaksaku merapatkan jaket. Berastagi sedang tidak musim hujan seperti di Medan. Cuacanya cerah. Tapi namanya juga pegunungan, mau cerah gimana juga ya suhunya masih kisaran 18 sampai 19 derajat doang. Adem.

Pusat Kota Berastagi gak begitu padat, jadi para abang-abang tukang sado dan kuda, tampak semangat banget nawarin. Soalnya pasar buah yang biasanya padat itu kemaren t ampak lengang-lengang saja. Kelihatan kalo musim liburan udah usai. Beruntunglah aku, dan kamu yang masih bisa menikmati liburan hari tasyrik. *Alhamdulillah ya Allah*

Aku agak sedikit banyak maunya kalo gak bisa dibilang congok. Setelah keliling naik sado ke bukit, udah menikmati perbukitan dengan ber-sado ria, aku naik kuda lagi. -_-“ Buat kamu yang pelesir ke Berastagi dan kepingin nyicipin sado, tarifnya berkisar 30rb-50rb tergantung kemana rute yang kamu pilih. Sama juga kayak kuda. Tapi sensasinya lebih asik naik kuda sih menurut aku. Goyang2nya itu. Berasa kayak jadi aktris di film yang ada adegan berkuda-nya. :v

Setelah ke-congok-an terlampiaskan, aku menumpang angkot menuju Bukit Gundaling, destinasi utama. Berbekal goceng, si abang angkot mengantar kita ke atas. Wajah Gundaling tak banyak berubah. Parasnya yang elok dan keistimewaannya bisa menampakkan wajah Gunung Sibayak dan Gunung Sinabung, pohon-pohon pinus yang menjulang tinggi, serta desau angin yang menggelitik masih sama. Hanya, hijaunya tak sempurna. Bukit ini turut menjadi imbas dari luapan debu Gunung Sinabung.
Kudanya namanya Cindy :)
Say hay to Cindy.. :)
Masih seperti pusat Kota Berastagi, di Bukit Gundaling pun tak begitu banyak pengunjung. Ini moment bagus. Jadi bebas mau foto-foto.  Hihihi. Oh iya, mama pernah cerita, konon, Bukit Gundaling ini dulunya adalah tempat bertemu seorang gadis desa dengan seorang pria Belanda. Mereka saling jatuh cinta. Namun orang tua si gadis menentangnya. Sampai suatu ketika, si gadis dinikahkan dengan seorang pria pribumi, dan si pemuda Belanda patah hati sambil berucap, “Good Bye Darling.” Jadilah nama Gundaling, karena orang pribumi mendengarnya demikian. Aku gak tahu persis itu isapan jempol atau benar-benar terjadi. Tapi sepertinya itu cerita turun temurun.

By the way, moment di Bukit Gundaling itu moment yang apik banget. Berdiri di tepi tebing, melebarkan tangan bak burung yang bersiap terbang. Merasakan anak-anak angin yang memainkan jaket, mengobrak abrik kerudung. Menatap puncak Gunung Sinabung yang sebagian sisinya sudah memutih. Menyaksikan hamparan awan cantik di langit. Merasakan debar yang tak biasa di dada. Ahh, kamu harus rasakan langsung!

Kita bertolak ke Medan dengan deru jantung yang menggebu. Liburan hari tasyrik kali ini berhasil menguapkan segala beban, lelah, bosan, dan menuntaskan kerinduan nge-trip. Emang sih kali ini gak se-rame biasa, tapi yang namanya nge-trip selalu bikin bahagia membuncah di dada.

Terima kasih teman seperjalanan. Karenamu, perjalanan ini lebih dari sekedar nge-trip. :) :)








📷📷my👑