Senin, 25 April 2016

FORGIVE AND BE FORGIVEN

"Dengan memaafkan, hati akan kembali tenang. Kedamaian ada bersama keikhlasan yang kita berikan, bukan yang atas maaf yang mereka haturkan."



Ini dunia real, bukan sinetron, apalagi dongeng fantasi yang menampilkan kisah si itik buruk rupa berubah menjadi putri memesonakarena keelokan hatinya. Bukan pula dunia magic seperti kehidupan ajaib Alice In The Wonderland. Ini dunia nyata. Dimana segalanya adalah realita. Dan di dunia nyata ini, segalanya tak semudah Harry Potter mengucapkan mantra “Imperio” agar seseorang mengikuti keinginan kita. Tidak. So stop imagine, and face it.
Membuat kesalahan adalah hal yang lumrah dilakukan selagi kita masih menyandang gelar “manusia.” Pernah berbuat kesalahan, dan mengecewakan orang lain justru adalah kode kalau kita pernah melakukan sesuatu. Ini jelas lebih baik daripada tak pernah salah karena tak pernah berbuat. Is it right?
Aku suka berfikir, bagaimana jika aku berada di posisi orang yang mengecewakan. Kecewa itu biasa. Kata orang, kecewa itu karena kita berharap sama makhluk. Siapa suruh, tho? Dan setiap aku kecewa, aku selalu merasa itu adalah kecewa yang terberat. Padahal, kecewa yang sebenarnya kadarnya lebih parah pun pernah kulewati dengan selamat. Giliran mengecewakan orang lain, aku malah mikir, “gitu aja pake marah. Biasa aja kali.” *Dan sepatu pun berterbangan*
Iya, aku sering banget menganggap orang lain mengecewakanku begitu dalam. Meski sebenarnya kalau aku berfikir jernih, itu toh masalah biasa banget. Atau kalau contohnya kita miss komunikasi. Janjian jam sekian. Aku nyampe lokasi jam sekian sesuai perjanjian, eh, taunya si kawan jam sekian malah baru mau berangkat dari rumah. Kejadian kayak gini tuh bisa bikin senewen. Malah kalo kebetulan lagi PMS, bisa nelpon sambil mencak-mencak dan ngancem mau pulang aja. Sekarang, mungkin semua pada mikir, “hellow, gitu aja pake acara ngambek..” coba kalo lo berada di posisi gue. Apalagi tempat janjian lo gak nyaman. Panas, banyak debu, dan nungguin temen lo sampek hampir satu jam. Bisa jadi lo lebih parah mencak2nya dari pada gue.
Tapi di lain hal, ketika aku yang ngecewain temen, aku yang justru menganggap dia lebay karena marah atas sikapku. Contohnya nih, kita janjian udah dari seminggu yang lalu. Janjian mau kemanaa gitu. Nah, pas di hari H, tiba2 aku gak bisa berangkat karena ada suatu hal. Setelah minta maaf, dan mengutarakan alasan dengan bumbu2 penyedap biar si kawan nggak marah lagi, tapi tetep kekeuh marah, aku pasti langsung mikir, “ni orang lebay banget sih marahnya, udah minta maaf juga..”
Aku nggak sadar, sebenernya kalo dipikir-pikir, kadar kekecewaan  yang aku buat dengan yang dia buat justru berat sebelah. Maksudnya gini, kadar kecewaku karena pernah nungguin dia sejam pas janjian pasti lebih sedikit dibanding kekecewaan dia karena gak jadi pergi bareng aku padahal waktunya udah kita planning dari seminggu yang lalu.
Kalo udah gini, siapa yang salah? Ya aku lah. Kenapa? Karena aku hanya memperhatikan hatiku sendiri. Umumnya, kita hanya mau tau pada kekecewaan kita. Kita hanya peduli pada kenyataan bahwa, “lo udah ngecewain gue.” Padahal nyatanya, kita sama2 pernah bikin kesalahan, kita sama2 pernah mengecewakan dan dikecewakan.
Sampel yang kuambil memang yang paling sepele se-sepele2nya. Biar aku juga sadar, masalah sebegitu kecil pernah ngebikin aku dongkol. Biar aku juga bisa menimbang kesalahan2ku yang sepele lainnya, atau kesalahan orang lain yang sepele banget bisa kutuntaskan, kuhapuskan dari hatiku.
Memaafkan selalu menjadi obat penenang kala dikecewakan. Meski awalnya aku merasa itu adalah kesalahan terbesar yang pernah dilakukan seseorang terhadapku, kekecewaan terbesar yang pernah disodorkan seseorang pada hatiku, dan aku masih bisa mengingat dengan jelas bagaimana sesaknya dada ketika menerima kenyataan demikian. Nyatanya, aku hanya butuh untuk berdamai dengan hatiku sendiri, salah satunya dengan memaafkan. Menepikan ego. Mungkin saat ini aku yang dikecewakan, tapi kemarin? Esok lusa? Mungkin aku-lah justru penyebab dari kekecewaan orang lain. Atau, malah, setelah semua ini, justru orang tersebut yang malah kecewa dengan sikapku yang tak juga bisa menerima maafnya?
In this real life, forgive and be forgiven is not easy. Tapi bukan hal yang mustahil, tho?
Yang terpenting, kita bisa nggak ngejalanin hari dengan toleransi yang luar biasa? Yang bisa dengan mudah memaafkan ke-khilaf-an, yang  bisa memaklumi kesalahan, dan berusaha untuk tidak mengecewakan karena pernah tau bagaimana rasanya dikecewakan? Hmm, semoga bisa ya..






BTW, kamu kah ‘aku’ itu? :v



Selasa, 12 April 2016

KARENA MASALAH MEMANG HARUS ADA

Masalah membuat kita semakin matang dalam berfikir, semakin bijaksana dalam mengambil keputusan, dan semakin dewasa dalam mereguk hikmah. Masalah ada agar kita berproses. Segala yang dilalui dengan instan, mungkin simple, dan mudah. Tapi tentu melewatkan suatu yang berharga;  proses.

Aku berada di comfort zone sekian lama. Di posisi-ku saat ini aku merasa nyaman dan aman. Kenapa? Karena ternyata tempatku berdiri adalah tempat yang terlindung dari sengatan matahari, dan terhalau dari deru hujan. Aku bisa melakukan apapun sesuka-ku. Hanya, aku adalah seorang yang patuh pada aturan, dan takut pada hukuman. Jadi, sekalipun aku bebas melakukan apa yang aku suka, aku masih mampu meredam kegilaan-kegilaan yang mungkin terbersit difikiran untuk dilakukan.

Awalnya kufikir, tempatku akan menjadi surga dunia. Perasaan nyaman dan aman ini melenakan. Tak pernah terfikirkan aku akan melewati masa sulit saat aku masih berpijak dan berteduh di tempat yang sama. Kau tau, jika kita sudah terlalu yakin, terlalu percaya dengan posisi aman, kita tak pernah berfikir sedikitpun untuk mempersiapkan ‘may day.’ Iya, aku terbuai. Keberpihakan dunia terhadap hidupku melenakan, dan membuatku abai terhadap sesuatu di masa depan.

Jika dulu aku tanggap resiko, dan berusaha memanajemen resiko tersebut seminim mungkin. Maka aku yang sekarang adalah orang yang baru sadar untuk me-manaj resiko setelah masalah kadung datang.

Seperti yang kubilang di awal, berada di comfort zone tak lantas membuatku terbebas dari masalah. Karena sejatinya, masalah ada karena aku memang manusia. Inilah hidup. Tidak ada kenyamanan yang selamanya nyaman. Tidak ada jalan yang datar2 saja. Mulus2 saja. Bahkan jalan tol pun punya tikungan tajam.

Ini terjadi baru saja. Baru sekitar beberapa hari lalu, atau mungkin dua minggu lalu. Kejadian ini begitu cepat sampai aku gelagapan. Saat itu, aku tengah mengajar di salah satu kelas. Kelas sudah terkondisi dengan baik dan tertib sebelum akhirnya aku memulai pelajaran. Aku memang amatiran di dunia pendidikan, tapi jujur saja, aku galak di kelas. Kebetulan siswa-siswaku saat itu juga sedang baik budi.  Di saat semua terkondisi dengan baik, kejadian naas itu datang.

Aku yang sedang menulis materi di papan tulis disadarkan seorang siswa kalo ada anak perempuan yang menangis di belakang. Saat kuhampiri dan menanyakan kronologis kenapa dia menangis, aku tertegun. Air matanya berurai. Dan aku bahkan tak tahu harus apa dan bagaimana.

Setelah kejadian itu, aku benar-benar terbeban. Bagiamanapun, aku bertanggung jawab atas kelasku. Support dari beberapa orang teman sedikit membantu, sih. Tapi jelas bukan membuat bebanku berkurang.

Aku memikirkan jalan keluar sendiri. Kutemui kepala sekolah dan menjelaskan semuanya, mulai dari awal hingga akhir tanpa rekayasa. Kujelaskan dan kuakui itu tanggungjawabku, karena saat itu memang aku yang berada di kelas. Diluar dugaan, ternyata beliau sudah dengar kronologinya dari rekan yang lain, dan memaklumi kejadian naas itu. Kau tau, setelah aku selesai melapor, rasanya dadaku ini plooooong banget. Bebanku terurai satu per satu.

Lantas jalan kedua yang kugunakan untuk mengurai beban ini lebih dalam, aku menjenguk siswaku itu. Bersama beberapa teman, kami mengunjungi, membesuk, memberikan semangat, dan menguatkan. Semoga menjadi penawar lukanya. Semoga menjadi pengobat hati orang tua dan keluarganya. Mohon doakan agar ia lekas sembuh ya. J
 
Ini yang kumaksud tadi. Masalah itu mendewasakan.
Sebelumnya, aku gak pernah tau seperti apa aku harus melewati ini semua. Ini hal yang belum pernah kuhadapi sebelumnya. Sama sekali belum pernah. Dan ternyata aku berhasil menghadapinya. I face it. I did it well.

Ternyata, ada perubahan signifikan dari aku yang dulu dan aku yang sekarang. Yang berbeda adalah cara menghadapi masalahnya. Aku bukan tipe orang yang bisa cuek, acuh, dan tak ambil pusing dengan masalah yang ada. Kalau kau mengenalku, kau pasti tahu, aku termasuk manusia labil yang apa-apa menggunakan perasaan. Memang, sebagai perempuan kecenderungan untuk mengambil keputusan menggunakan perasaan adalah hal yang lumrah. Tapi, ternyata, sadar atau tidak, itu merugikan. Harusnya kita bisa menyeimbangkan antara logika dan perasaan.

Jika saja kemarin aku tidak menemui kepala sekolah, jika saja aku tidak tergerak untuk menjenguk, jika saja aku hanya hanyut dalam perasaan bersalah. Atau, aku menjadi pribadi dengan ego tinggi, menganggap itu semua kejadian naas, dan memang sudah menjadi ketetapan Tuhan. Jadi bukan salahku. Toh, kelasku terkondisi dengan baik. Jika saja semua kalimat dalam paragraph ini benar kulakukan, aku benar2 adalah perempuan lemah, dan bodoh.

Akhir2 ini, aku mulai mendewasa. *eeeaaakk* Mungkin karena efek udah dualima kali ya? Hahaha… Alhamdulillah. Ternyata seiring bertambahnya usia, aku semakin bijaksana. *piwiiiiitt* *Yang mau muntah, silakan. Yang mau nokok aku, tokok aja laptop atau Hp klen. Yang mau traktir aku,  ditungguin yak. Hahaha*

Well, makasi ya wee, yang kemaren udah nasehatin aku, yang kemaren udah bantuin aku nyelesein masalah ini. Yang udah bersedia kurepotkan dengan nganterin aku jenguk. Kalian luar biasaaa… :D