Jumat, 06 September 2013

CANTIK :)

Udah lama pengen nulis ini, tapi selalu terhambat dengan sesuatu yang yah, sebut saja malas. Malas memulai, malas nyari bahan, dan malas menyempatkan diri untuk menuangkannya melalui keyboard. Jadilah dia hanya sebatas keinginan. Kayak quote yang pernah kudengar, 'mimpi tanpa aksi, akan tetap menjadi mimpi.' Yah, begitulah.

Well, ini tentang 'cantik.' Sama sekali tidak ada hubungannya dengan ajang Miss World yang akan di adakan di Bali itu, loh. Kalaupun nanti ada yang sedikit nyerempet, anggap aja kebetulan. Soalnya memang gak punya niat kesitu.

Perempuan ditakdirkan untuk jadi cantik. Setuju? Hmm, oke..oke.. Perempuan ditakdirkan untuk jadi cantik dengan 'kecantikannya' masing-masing. Agak membingungkan memang, tapi kalau ini, aku yakin bakal banyak yang sepakat. Aku juga yakin kalau kita setuju dengan kalimat, 'cantik itu relatif.' Yap, bener. Cantik itu memang relatif, tergantung siapa yang memandang dan pakai apa memandangnya. Hehe. *gak lucu juga kalau mandangnya lewat mata kaki, kan?

Tapi justru ini yang bakal kuulas. Katanya, cantik itu relatif, tapi kenapa yang dibilang cantik itu gak jauh-jauh dari model-model di tv ya? Yang kulitnya putih, bening, pokoknya kinclong deh. Terus, kalau gak punya kriteria begituan, gak bisa dibilang cantik ya?

Katanya lagi, untuk melihat kecantikan seseorang itu, gak cuma dari tampilan luar, tapi juga dari dalam. Istilah kerennya inner beauty. Tapi, kok kesannya, untuk dapat gelar cantik itu harus kerja keras buat memoles tampilan luar? Semoga hanya perasaanku saja. Semoga ini tidak benar-benar terjadi. Sayangnya, aku lebih mudah menemukan mereka yang ingin memoles tampilan luar daripada mengasah inner beauty.

Bisa jadi karena merasa innernya sudah oke, jadi tinggal luarnya nih. Wah, keren itu mah. Tapi juga gak harus mati-matian buat mutihin kulit segala kan? Kita, perempuan Asia memang khasnya punya warna kulit kuning langsat atau sawo matang. Kenapa harus jadi dipaksain putih coba? Malah, perempuan-perempuan di Amerika sana rela panas-panasan berjemur buat mendapatkan warna kulit serupa milik kita. Khawatirnya sih, ini karena di kepala kita sudah ada pemaham kalau 'cantik itu ya putih.' Atau barangkali gara-gara iklan? Yah, media kan cepat masukin pemahaman ke alam bawah sadar. 

Jadi, gak perlu abis-abisan buat mutihin kulit. Apalagi sampai milih operasi plasti sebagai jalan pintas. Iya kalo operasinya berhasil, kalo gagal? Hiiiyyy... Eh, by the way, emang ada ya operasi plastik buat nginclongin kulit? :p

Kan lebih seru tuh kalo kita lomba-lomba mempercantik diri dengan mengasah otak. Perempuan cerdas itu cantik loh. Satu lagi, mempercantik diri dengan akhlak. Aku pernah dengar, kontestan acara miss-missan itu dinilai dari 3B, beauty, brain, dan behaviour. Nah, walau kita gak mau ikutan jadi kontestan, triknya bisa kita pake kan. Bolehlah, kita tidak punya B yang pertama, paling tidak, kita masih punya 2 B lagi.

Eh, tapi jangan mentang-mentang sibuk mengasah inner, jadi lupa moles tampilan luar juga. Namanya juga perempuan yang ditakdirkan cantik, jangan lantas mencukupkan bagian dalam saja dong. Anugerah Allah kan kudu di syukuri, tho? Dengan merawatnya salah satunya. Terlalu cuek sama penampilan juga jangan, ya. Gak asik juga ngeliat perempuan  yang berantakan. Jangan sampai karena kita yang cuek, kita sendiri yang mikir persepsi orang-orang tentang cantik itu yang salah. So, yuk, jadi cantik yang benar-benar cantik. :)

*Apapun ceritanya, aku sih mikirnya kita sudah terlahir cantik. :)  Lihat saja nanti, paling tidak ada sekelompok kecil orang yang bakal bilang kita cantik. Siapa? Lihat saja nanti. :)

Rabu, 04 September 2013

ISBN Ohh ISBN

Udah lama gak ngintip itu grup, aku kaget pas dengar kabar kalo disana sedang ada masalah terkait ISBN palsu. Banyak penulis yang aku kenal mulai menarik kembali naskah mereka. Dan yang ngebikin aku makin bingung, adalah, setelah sekian banyak buku yang mereka terbitkan, masa semuanya pake ISBN palsu?

Karena rasa penasaran yang super, akhirnya aku memutuskan untuk menyimak komentar-komentar, wall-wall di grup itu. *Wah, nyelekit. Banyak yang menghujat meski kemudian di akhir kalimatnya ia membubuhkan emoticon senyum.* Ternyata penerbit mereka belum terdaftar secara hukum alias gak punya akta notaris. Sementara untuk mengurus ISBN harus mencantumkan akta notaris. Nah, barangkali, itu alasan kenapa mereka gak bisa ngurus ISBN dan terpaksa menggunakan ISBN palsu. Jadi, aku tergoda buat searching apa sih gunanya ISBN dan kenapa mereka 'terpaksa' pake yang palsu karena gak bisa dapat yang asli.

Dan, ini dia hasilnya.

Jadi ceritanya, ISBN itu adalah sidik jarinya buku. Jadi, kalau tidak punya ISBN, ya sama artinya dengan tidak punya sidik jari, tidak terdata. Kalau nanti, di masa yang akan datang ternyata itu buku bakal laris manis dan jadi fenomenal banget, orang-orang bakal susah mendeteksinya. Kan gak punya ISBN. Terus, kalau buku ini nantinya di jual di toko buku, juga bakal susah. Dan kayaknya gak bakal diterima deh kalo gak punya ISBN. Toko buku kan punya banyak banget buku yang harus di jual. Nah, masing-masing buku itu harus punya identitas, dong. Biar mesin kasir bisa ngecek langsung itu buku judulnya apa, penulisnya siapa. Dan sebenarnya, setelah kupikir-pikir ini hal yang paling mendasar kenapa buku itu harus pake ISBN.

Ketemu kan, maksudnya? Buku yang dijual di toko buku yang seharusnya butuh banget ISBN. Nah, kalo buku yang dijual secara online, atau menjual langsung yang istilah kerennya itu direct sell *bener gak sih?* apa juga perlu identitas ya?

Begini, kebanyakan orang, hmm,. barangkali penulis-penulis pemula, termasuk aku sendiri, jika ditawari menulis dengan buku yang nantinya akan terbit tanpa ISBN, pasti bakalan langsung menolak atau minimal mengerutkan kening. Kenapa? Karena buat kita, buku tanpa ISBN layaknya adalah buku illegal. Siapa pula yang mau bukunya di cap seperti itu.

Nah. itu dia yang mungkin ada di pikiran si penerbit itu. Takut kalau event-event yang ia adakan bakal sepi peminat. Gak bisa ngurus ISBN karena gak punya akta notaris, yah, pilihan mereka jatuh kepada membuat ISBN palsu. Kalau sudah begini, penulis-penulis yang karyanya sudah di tangan mereka bakal gak percaya lagi deh. Buktinya, sudah banyak tuh yang menarik kembali naskah. Mana nama mereka juga jadi jelek. Kesannya kita jadi korban penipuan gitu.

Padahal kan buku-buku mereka cuma dipasarkan secara online. Harusnya sih, ISBN tidak begitu penting untuk dicantumkan. *Kalau bisa ya lebih baik lagi.*

Setelah tau 'ternyata begini toh seluk beluk ISBN itu', aku tidak begitu memusingkan masalah ini. Toh, mereka sekarang juga sudah ngurus akta notaris baru dan untuk buku selanjutnya akan ada ISBN asli yang nempel di buku. Dan semoga buku-ku masih ber-rezeki punya ISBN asli. Hehe.

Yang bakal bikin runyam adalah mereka yang udah shock duluan menerima kabar soal ISBN palsu tidak berniat lagi untuk menggali lebih dalam soal ISBN. Menerima mentah pemahaman yang terbentuk secara alami di kepala kalau non ISBN atau ISBN palsu adalah illegal. Wah, bisa-bisa malah gak percaya lagi dengan penerbit indie. Kacau deh. Semua penerbit indie bisa jadi sasaran. Memang ini untuk mereka yang tidak melek mata dan hatinya. Tapi kemungkinan ini tetap saja besar, tho?

Intinya, jangan mau menelan bulat-bulat informasi yang tersaji di depan mata. Nanti keselek. Digigit dulu, dikunyah dulu, baru di telan. Jadi ampas-ampasnya gak ikut masuk perut semua. ^_^