Jumat, 19 Oktober 2012

REPORTER ECEK-ECEK XD


Selamat siang pemirsa, sekarang saya sudah berada di Simeulu, pusat dari gempa berkekuatan 6,7 yang menguncang Banda Aceh pagi tadi. Gempa ini tidak berpotensi tsunami. Namun deikian, banyak masyarakat melarikan diri ke dataran yang lebih tinggi dan mesjid-mesjid setempat. Tidak ada korban jiwa dalam kejadian ini meski diperkirakan puluhan orang menderita luka berat akibat tertimpa bangunan yang roboh. Kerugian yang di derita diperkirakan mencapai lima puluh miliar rupiah

Sekian laporan dari saya, Lita, Teropong TV mengabarkan.
***

Itu dia berita yang kulaporkan waktu jadi reporter tv ecek-ecek. Jadi ceritanya kemaren aku ikutan lomba live reporting yang diadakan UKM Teropong UMSU. Dari sekian banyak rangkaian acara, aku cuma tertarik sama yang sebiji ini. Aku pernah cerita, kan kalo aku suka dan pengen belajar ‘newscaster’. Nah, untuk jadi seorang newscaster, harus bisa live reporting dulu. Jadilah aku ngebet pengen ikut pas tau ada lomba ini. Tapi sodara-sodara, perjalanan panjang untuk ikutan lomba ini sedikit dramatis. Bakal kuceritakan deh.

Jadi gini, kemaren, sebulan yang lalu mungkin, aku di undang via fesbuk sama Ica, temenku di Teropong buat menghadiri acara itu. Rangkaian acaranya banyak. Ada diklatsar jurnalistik, lomba foto, lomba pidato, dan lomba live reporting ini. Pas ngebaca undangan si Ica, aku langsung approve. Soalnya aku memang pengen ikut. Apalagi Arif janji mo ngebayarin uang pendaftaran. :D asik..asik..

Terus nih, di suatu malam yang boring banget. Jelas boring, si item lagi dibawa arif ke kampus, manda udah tidur padahal masih jam sembilan malem, nyokap bokap di belawan, jadilah aku sendiri. Nonton tipi bosen, nyanyi-nyanyi capek, mo tidur belum ngantuk. Huaaahhh,, sumpah, itu malam terboring yang bisa masuk rekor MURI kayaknya. Karena gak tau mau ngapain, aku ngotak atik hp. Dan, jreng..jreng… terlihatlah nomor si Ica secara tidak sengaja. Kulirik jam, masih jam sembilan lewat 10 menit. Masih bisa nih buat sms, nanya-nanya kelanjutan lomba kemaren.

Aku (A) : Ca, lomba live reportingnya kapan ya? Tanggal 15 juga?
Ica (I)     : iya kak. Kakak mau ikut?
A             : Iya, hehehe. Dimana lokasinya, jam berapa, administasinya?
I               : di lab hukum, kak. Besok sms aja Ica.

Aku kemudian ngebongkar kalender hape, ngecek tanggal 15 itu hari apa. Kalo jam kerja, harus izin sama kepsek dulu soalnya. Dan taraaaa…. Tanggal 15 itu adalah hari selasa, dan itu adalah B E S O K !! Astagfirullah. Gilak. Mau lomba, pas mepet banget gitu. What the hell?! Masa iya aku lomba tanpa persiapan? Gak ikut TM, gak tau materi, gak tau berita apa yang mau dibaca. #gubraaakkk.

Besoknya pas di kantor, aku nyari-nyari celah buat belajar. Eehh, ternyata lagi banyak kerjaan. Ngurusin data guru yang mau dapat bantuan insentif dari Gubsu. Dan gak ada celah sampai jam kerja berakhir. Padahal lombanya dimulai jam 1. Aku langsung kebut dari kantor ke UMSU. Nyampe sana, ngrusin administrasi, ngambil berita, terus latian. Entah udah berapa orang yang maju, pokoknya pas aku nyampe, udah tinggal dikitlah orang yang ada disitu. Jadilah aku latian, komat kamit sendiri, ngerekam, terus ngedengerin lagi. Gitu terus sampe namaku dipanggil.

Pas di dalam, senyap banget, cuma ada dua orang panitia dan seorang juri. Aku megang mic dengan sesantai mungkin. Berusaha serileks mungkin. Dagdigdug sebenarnya. Bener2 ngerasa belum siap. Tapi apalah daya, the  show must go on. Aku tampil dengan dua kali take. Celakanya, ada part yag aku lupa. Jadilah aku ngambil jeda beberapa detik sebelum lanjut. Ahh, itulah bagian yang paling nyebelin. :(

Begitulah, perjalanan menuju lomba live reporting yang aduhai sekali. :D padahal, logikanya kalo udah mepet banget gitu, bagusan gak usah jadi ikutan kan ya? Kan besok-besok atau di lain kesempatan masih bisa ikutan lomba. Tapi itulah, nafsu banget aku soalnya. Hahaha. Pengeeen banget. Jadi ya gitu, ada kesempatan, langsung di embat tanpa mikir panjang.

Gapapa juga denk. Kan pengalaman di atas segalanya. :) Kalo gak ada ini, mungkin aku gak belajar buat lebih baik lagi dalam menghadapi event yang mungkin di lain kesempatan akan kuikuti. Well, inilah kisah reporter tv ecek-ecek.

Dari Medan, di depan si item, Lita, mengabarkan. :D

Kamis, 18 Oktober 2012

Especially For Didin—LPM Dinamika IAIN SU—Selintas Cerita Tentang Kita


—Sejak  aku mengenalmu, berjibaku dengan semua ihwal tentangmu, belajar mencintaimu sampai akhirnya aku melepas pelukmu, aku yakin akan satu hal, kau selalu ada disini, di hati ini. Terimakasih untuk segalanya, Dinamika. Terimakasih. Semoga di usiamu yang baru, semakin banyak yang mencintai dan rela berjuang bersamamu. I’ll always love you.—

Happy Milad, Didin :)
Kalimat puitis itu kutulis di wall fesbuknya si Didin kemaren. Pas tanggal 16 Oktober 2012. Iyup, Didin milad yang ke-19. Gag terasa ya? Padahal sepertinya, baru saja melewatkan perayaan ulang tahunnya yang ke-18, eh, sekarang udah harus ngerayain lagi. :D

Di usia baru Didin ini, aku bukan lagi sebagai salah satu kru-nya. Rasanya sedikit berbeda. Semarak miladnya jadi kurang berasa. Walau sebenarnya, crews banyak ngucapin selamat dengan kalimat-kalimat manis nan puitis di dumay, wall fesbuk Didin dan di grup redaksi. Yang artinya, aku bisa menikmati euphoria anniversary Didin juga. Tapi, entahlah, rasanya sedikit berbeda meski aku tak bisa menjelaskan seperti apa sebenarnya bentuk yang kubilang beda itu. Mungkin yang masih sama dan akan terus sama adalah cintaku. Ya, hatiku masih terpaut dalam padamu, Didin. Belum ada yang bisa menggantikan. Bahkan kurasa, kau takkan terganti. :)

Perjalananku masih belum terbilang panjang bersama Didin. Hanya sekitar dua setengah tahun. Sebentar, tapi cukup menyisakan pengalaman dan pengetahuan yang luar biasa. Mengenalmu, Didin, adalah hal yang akan kusyukuri sepanjang hayat. Soalnya, meski jejak yang kita ukir belum banyak banget, tapi jelas itu berpengaruh terhadap hidup dan perkembangan karirku. #Sadaaaapp. Beneran loh. Judul skripsiku aja terinspirasi dari berita yang kugarap. Berita untuk mengisi salah satu rubrik di halamanmu. Ahh, Didin. Makasih ya. ^_^

Sudah berkisar lima bulanan sejak aku melepas peluk hangat Didin. Aku baik-baik saja memang, cuma, tak bisa kupungkiri, aku rindu berat akan pelukan itu. Rindu serindu rindunya, udah cem lirik lagu gitu ya. Tapi beneran loh. Cius akuna. :p pas lagi kangen-kangen gini. Aku jadi pengen nulis sejarah kita, Didin. Kisah pertama kali ketemu kamu dan memutuskan untuk masuk kedalam duniamu. #hem, harus nyiapin tissue nih keknya. Terharu mode : on.

Jadi kisah kita dimulai waktu aku masih unyu-unyu di kampus. Eh, gag denk. Udah semester empat waktu itu. Aku pengeeen banget belajar jadi newscaster kemaren itu. Dan kufikir, Dinamika adalah wadah yang tepat. Jadilah aku menggeret ketiga sahabatku buat ikutan daftar. Tapi malang tak dapat ditolak—bahasa gua—yang lulus daku seorang. Dengan sedikit merangkak-rangkak, aku akhirnya menegaskan langkahku di Dinamika. Tapi memang tak mudah.  Rangkakan itu lebih sering mandek. Aku lebih sering menghilang daripada ada di sekret. Huaaahh, itu masa-masa kritis, Didin. Benar-benar kritis. Saking kritisnya, terjadilah hubungan telpon malam-malam dengan Pemimpin Umum dan berbuah akan laut yang menggenang dimataku. #entah kenapa kalo inget part ini, jadi cengar cengir sendiri. XD.

Setelah moment itu, barulah aku belajar mencintaimu, Didin sayang. Belajar menjadikan sudut-sudutmu adalah ruang yang kurindukan. Dan aku berhasil. Aku jatuh hati, semakin hari, semakin dalam. Mulai kutapaki karirku di duniamu dengan serius, melihatmu dengan seribu sudut pandang baru, yang akhirnya membuat aku yakin, aku benar-benar berkembang disini. Fase-fase yang kualami benar adalah media pendewasaan diri yang optimal. Ahh, Didin, aku sampai tidak bisa mengurai per kata lagi akan jasamu. #tarik ingus.

Aku ingat waktu pertama kali kenal Bang Syahri, Kak Dila, dan Mbak Berty selaku pengurus inti kemarin. Ketawa-ketawa pas perkenalan di hari terakhir ujian. Itu kenangan yang paling kuingat. Style Bang Syahri dengan topinya—selama 3 hari ujian, Bang Syahri pake topi terus seingatku. Kalo salah mohon maaf ya bang. :p—celoteh Kak Dila yang semua orang langsung tau kalo karakter si kakak : talkative, tapi nyenengin—udah dipuji Kak Dil, mana bombon?—trus gaya bicara Mbak Berty yang imut-imut pisan—cius? Miapah? :D beneran. Kesan itu yang pertama kali nangkring dikepala kalo inget mereka. Tapi mereka udah melepas pelukmu, Didin, tak lama setelah aku masuk. Rindu mereka, deh, Din. :(

Terus, kenangan sama Dewan Redaksi—setelah pemerintahan Bang Syahri. What, pemerintahan? :p—Bang Maulana, Pemimpin Umum baru yang premature—wah, udah lama kata ini gag digunakan—Kak Indah SKD, sekretaris abadinya Bang Maulana, Mbak Ani, si mbak yang lembut beud, dan Mbak Zee, pemred yang unyuuu sekali. Banyak banget. Kita urai satu-satu yak. Seru nih. Hohoho.. :D

Bang Maulana, pertama kali kenal, dia sok wibawa. Sumpeh. Makanya aku agak shock setelah tahu aslinya. :D Dia memimpin Dinamika di usia premature, bukan soal umur, tapi soal pengalaman dan ilmu mungkin. Seiring waktu, ia bertumbuh. Semakin hari semakin matang. Dan ia pada akhirnya adalah premature yang berhasil membawa Dinamika semakin maju. Eh, dia ini kalo ngebedah naskah lo, bener-bener dibacok-bacok. Pedes gilak kritiknya. Pokoknya kalo mo nyerahin naskah, apapun itu, mau berita, artikel atau cerpen, kudu siap mental. Cius! Tapi kemaren, dia pernah muji artikelku yang dimuat di Addin. Olala, akhirnya, bisa muji juga dia ya.

Kak Indah SKD, cewek cuek dengan postur mungil yang senantiasa berada di dekat pasangan sejatinya, Bang Maulana. Sumpeh, mereka sejak pertama kukenal memang gak pernah pisah. Kemana-mana bareng. Mungkin ke toilet doang yang enggak. Kak Indah itu tegas gilak. Pas rapat, dia gag mau diselingkuhin dengan apapun. Mau itu laptop, hp, atau ngobrol sama teman sebelah. Dia mau semua mata fokus memperhatikannya yang sedang komat kamit.

Mbak Ani, mbak ini lembut beud, loh. Sama si mbak ini aku pernah nangis gara2 tapak-tapak kecilku gag kokoh-kokoh juga di duniamu, Din. Huaaahh, pokoknya inget sama kejadian pas magrib-magrib itulah jadinya. :”D

Trus si mbak yang satu lagi, mbak Zee, emaknya Gue Gak Cupu. Mbak ini lebih mungil dari Kak Indah SKD, loh. Hahaa. Kalo ngebedah naskah, si mbak jauh lebih berhati malaikat dibanding Bang Maulana. Dia bakal sabar banget ngajarin. Deket-deket sama mbak Zee, bakal ngebuat kosa kata nambah. Ada aja kata baru yang dia ucap tiap harinya. Asiklah pokok’e.

Satu lagi, Bang Irhas. Atau lebih sering kupanggil dengan sebutan ‘Muallim Irhas’. Inilah dedengkotnya Alay (baca : anak layouter). Ilmu desgrafnya subhanallah sekali. Si abang ini selain jadi tentor buat yang mau belajar layout, juga jadi guru ngaji Dinamika. Tiap Jumat, kita bakal rame-rame ngerubungin cowok imut (baca : item mutlak) ini buat belajar ngaji di acara Dinamis—Dinamika Mengkaji Islam—sejak itulah dia diangkat jadi Ustadz Dinamika. Kalo kata Bang Maulana, nama lengkap Muallim Irhas itu ‘Al-Ustadz Irhas Pulus Al-Lauddendangi. :D Pokok’e, abang inilah yang gak bosan-bosan ngajarin dan ngajakin kami ngaji. Sekarang, salah satu hal yang bikin aku rindu berat sama Dinamika adalah Dinamis. Sekarang udah gak bisa ikutan Dinamis lagi. Gak bisa dengar ceramah muallim lagi. Hiks. T_T

Itu baru sedikit dari orang-orang di dalam dunia Dinamika yang menginspirasi. Masih banyak lagi yang sedang menunggu giliran untuk dituliskan. Segera, akan kuabadikan kisahku dengan mereka dalam catatan kecil yang akan kukenang selamanya—sadaaaapp—.

Makasih ya Didin. Ahh, ya, selamat ulang tahun. Semoga semakin berjaya dalam membawa makna meraih cita. I love you as always. Muuuaaachh :*

Especially For Didin—LPM Dinamika IAIN SU—Selintas Cerita Tentang Kita


Especially For Didin—LPM Dinamika IAIN SU—Selintas Cerita Tentang Kita
—Sejak  aku mengenalmu, berjibaku dengan semua ihwal tentangmu, belajar mencintaimu sampai akhirnya aku melepas pelukmu, aku yakin akan satu hal, kau selalu ada disini, di hati ini. Terimakasih untuk segalanya, Dinamika. Terimakasih. Semoga di usiamu yang baru, semakin banyak yang mencintai dan rela berjuang bersamamu. I’ll always love you.—
Kalimat puitis itu kutulis di wall fesbuknya si Didin kemaren. Pas tanggal 16 Oktober 2012. Iyup, Didin milad yang ke-19. Gag terasa ya? Padahal sepertinya, baru saja melewatkan perayaan ulang tahunnya yang ke-18, eh, sekarang udah harus ngerayain lagi. :D
Di usia baru Didin ini, aku bukan lagi sebagai salah satu kru-nya. Rasanya sedikit berbeda. Semarak miladnya jadi kurang berasa. Walau sebenarnya, crews banyak ngucapin selamat dengan kalimat-kalimat manis nan puitis di dumay, wall fesbuk Didin dan di grup redaksi. Yang artinya, aku bisa menikmati euphoria anniversary Didin juga. Tapi, entahlah, rasanya sedikit berbeda meski aku tak bisa menjelaskan seperti apa sebenarnya bentuk yang kubilang beda itu. Mungkin yang masih sama dan akan terus sama adalah cintaku. Ya, hatiku masih terpaut dalam padamu, Didin. Belum ada yang bisa menggantikan. Bahkan kurasa, kau takkan terganti. J
Perjalananku masih belum terbilang panjang bersama Didin. Hanya sekitar dua setengah tahun. Sebentar, tapi cukup menyisakan pengalaman dan pengetahuan yang luar biasa. Mengenalmu, Didin, adalah hal yang akan kusyukuri sepanjang hayat. Soalnya, meski jejak yang kita ukir belum banyak banget, tapi jelas itu berpengaruh terhadap hidup dan perkembangan karirku. #Sadaaaapp. Beneran loh. Judul skripsiku aja terinspirasi dari berita yang kugarap. Berita untuk mengisi salah satu rubrik di halamanmu. Ahh, Didin. Makasih ya. ^_^
Sudah berkisar lima bulanan sejak aku melepas peluk hangat Didin. Aku baik-baik saja memang, cuma, tak bisa kupungkiri, aku rindu berat akan pelukan itu. Rindu serindu rindunya, udah cem lirik lagu gitu ya. Tapi beneran loh. Cius akuna. :p pas lagi kangen-kangen gini. Aku jadi pengen nulis sejarah kita, Didin. Kisah pertama kali ketemu kamu dan memutuskan untuk masuk kedalam duniamu. #hem, harus nyiapin tissue nih keknya. Terharu mode : on.
Jadi kisah kita dimulai waktu aku masih unyu-unyu di kampus. Eh, gag denk. Udah semester empat waktu itu. Aku pengeeen banget belajar jadi newscaster kemaren itu. Dan kufikir, Dinamika adalah wadah yang tepat. Jadilah aku menggeret ketiga sahabatku buat ikutan daftar. Tapi malang tak dapat ditolak—bahasa gua—yang lulus daku seorang. Dengan sedikit merangkak-rangkak, aku akhirnya menegaskan langkahku di Dinamika. Tapi memang tak mudah.  Rangkakan itu lebih sering mandek. Aku lebih sering menghilang daripada ada di sekret. Huaaahh, itu masa-masa kritis, Didin. Benar-benar kritis. Saking kritisnya, terjadilah hubungan telpon malam-malam dengan Pemimpin Umum dan berbuah akan laut yang menggenang dimataku. #entah kenapa kalo inget part ini, jadi cengar cengir sendiri. XD.
Setelah moment itu, barulah aku belajar mencintaimu, Didin sayang. Belajar menjadikan sudut-sudutmu adalah ruang yang kurindukan. Dan aku berhasil. Aku jatuh hati, semakin hari, semakin dalam. Mulai kutapaki karirku di duniamu dengan serius, melihatmu dengan seribu sudut pandang baru, yang akhirnya membuat aku yakin, aku benar-benar berkembang disini. Fase-fase yang kualami benar adalah media pendewasaan diri yang optimal. Ahh, Didin, aku sampai tidak bisa mengurai per kata lagi akan jasamu. #tarik ingus.
Aku ingat waktu pertama kali kenal Bang Syahri, Kak Dila, dan Mbak Berty selaku pengurus inti kemarin. Ketawa-ketawa pas perkenalan di hari terakhir ujian. Itu kenangan yang paling kuingat. Style Bang Syahri dengan topinya—selama 3 hari ujian, Bang Syahri pake topi terus seingatku. Kalo salah mohon maaf ya bang. :p—celoteh Kak Dila yang semua orang langsung tau kalo karakter si kakak : talkative, tapi nyenengin—udah dipuji Kak Dil, mana bombon?—trus gaya bicara Mbak Berty yang imut-imut pisan—cius? Miapah? :D beneran. Kesan itu yang pertama kali nangkring dikepala kalo inget mereka. Tapi mereka udah melepas pelukmu, Didin, tak lama setelah aku masuk. Rindu mereka, deh, Din. L
Terus, kenangan sama Dewan Redaksi—setelah pemerintahan Bang Syahri. What, pemerintahan? :p—Bang Maulana, Pemimpin Umum baru yang premature—wah, udah lama kata ini gag digunakan—Kak Indah SKD, sekretaris abadinya Bang Maulana, Mbak Ani, si mbak yang lembut beud, dan Mbak Zee, pemred yang unyuuu sekali. Banyak banget. Kita urai satu-satu yak. Seru nih. Hohoho.. :D
Bang Maulana, pertama kali kenal, dia sok wibawa. Sumpeh. Makanya aku agak shock setelah tahu aslinya. :D Dia memimpin Dinamika di usia premature, bukan soal umur, tapi soal pengalaman dan ilmu mungkin. Seiring waktu, ia bertumbuh. Semakin hari semakin matang. Dan ia pada akhirnya adalah premature yang berhasil membawa Dinamika semakin maju. Eh, dia ini kalo ngebedah naskah lo, bener-bener dibacok-bacok. Pedes gilak kritiknya. Pokoknya kalo mo nyerahin naskah, apapun itu, mau berita, artikel atau cerpen, kudu siap mental. Cius! Tapi kemaren, dia pernah muji artikelku yang dimuat di Addin. Olala, akhirnya, bisa muji juga dia ya.
Kak Indah SKD, cewek cuek dengan postur mungil yang senantiasa berada di dekat pasangan sejatinya, Bang Maulana. Sumpeh, mereka sejak pertama kukenal memang gak pernah pisah. Kemana-mana bareng. Mungkin ke toilet doang yang enggak. Kak Indah itu tegas gilak. Pas rapat, dia gag mau diselingkuhin dengan apapun. Mau itu laptop, hp, atau ngobrol sama teman sebelah. Dia mau semua mata fokus memperhatikannya yang sedang komat kamit.
Mbak Ani, mbak ini lembut beud, loh. Sama si mbak ini aku pernah nangis gara2 tapak-tapak kecilku gag kokoh-kokoh juga di duniamu, Din. Huaaahh, pokoknya inget sama kejadian pas magrib-magrib itulah jadinya. :”D
Trus si mbak yang satu lagi, mbak Zee, emaknya Gue Gak Cupu. Mbak ini lebih mungil dari Kak Indah SKD, loh. Hahaa. Kalo ngebedah naskah, si mbak jauh lebih berhati malaikat dibanding Bang Maulana. Dia bakal sabar banget ngajarin. Deket-deket sama mbak Zee, bakal ngebuat kosa kata nambah. Ada aja kata baru yang dia ucap tiap harinya. Asiklah pokok’e.
Satu lagi, Bang Irhas. Atau lebih sering kupanggil dengan sebutan ‘Muallim Irhas’. Inilah dedengkotnya Alay (baca : anak layouter). Ilmu desgrafnya subhanallah sekali. Si abang ini selain jadi tentor buat yang mau belajar layout, juga jadi guru ngaji Dinamika. Tiap Jumat, kita bakal rame-rame ngerubungin cowok imut (baca : item mutlak) ini buat belajar ngaji di acara Dinamis—Dinamika Mengkaji Islam—sejak itulah dia diangkat jadi Ustadz Dinamika. Kalo kata Bang Maulana, nama lengkap Muallim Irhas itu ‘Al-Ustadz Irhas Pulus Al-Lauddendangi. :D Pokok’e, abang inilah yang gak bosan-bosan ngajarin dan ngajakin kami ngaji. Sekarang, salah satu hal yang bikin aku rindu berat sama Dinamika adalah Dinamis. Sekarang udah gak bisa ikutan Dinamis lagi. Gak bisa dengar ceramah muallim lagi. Hiks. T_T
Itu baru sedikit dari orang-orang di dalam dunia Dinamika yang menginspirasi. Masih banyak lagi yang sedang menunggu giliran untuk dituliskan. Segera, akan kuabadikan kisahku dengan mereka dalam catatan kecil yang akan kukenang selamanya—sadaaaapp—.
Makasih ya Didin. Ahh, ya, selamat ulang tahun. Semoga semakin berjaya dalam membawa makna meraih cita. I love you as always. Muuuaaachh :*

Sabtu, 13 Oktober 2012

DETIK-DETIK PENENTU #ngelap keringat -_-

waktu ngobrak abrik file, aku nemu makanan ringan ini, eh, catatan ringan maksdunya. entah kapan tepatnya aku curhat sama si item dan menghasilkan cemilan ini. yang pasti, waktu kutemukan kembali, rasa2nya harus kupajang disini deh. jadi, ini dia cemilan itu. :D
 ^_^


Tes!

Aku seolah bisa mendengar bunyi lelehan keringat yang jatuh dari dahi menuju lenganku. Tidak, bukan karena cuaca kotaku yang sedang panas, bukan pula karena aku sedang berolahraga keras untuk menurunkan berat badan yang belakangan menunjukkan kenaikan yang signifikan. Bukan itu. Aku tengah dilanda cemas luar biasa. Ini adalah detik-detik penentuan aku bisa wisuda bulan ini atau tidak.

Kulihat dosen pembimbing yang sedang membolak-balik halaman skripsiku. Meneliti dan mencari-cari kesalahan yang mungkin ada. Sesekali keningnya berkerut sambil menari-narikan penanya di atas lembaran putih nan tebal itu. Aku semakin gugup. Aku tahu masih banyak kesalahan yang ada karena aku tidak terlalu memperhatikan. Tapi, tolonglah. Besok adalah hari terakhir untuk mendaftar menjadi peserta ujian komprehensif yang juga merupakan persyaratan kelulusan. Kalau skripsiku tidak di ACC sekarang, aku takkan bisa mendaftar besok.

“Kenapa gelisah sekali, Lita?” Bu Yenni, pembimbingku mengalihkan wajahnya dari tumpukan kertas skripsi ke arahku. “Besok hari terakhir pendaftaran ujian komprehensif, ya?” sambungnya.

Melihatku yang mengangguk pasrah, beliau tersenyum.

“Selesaikan saja dulu revisinya. Kalau sudah rezeki untuk wisuda bulan ini, insya Allah bisa, kok. Lagian, Lita belum genap empat tahun kan, kuliahnya?”

Ahh, kalimat itu.

Aku melangkah keluar dari ruangan Bu Yenni gontai. Aku memang masih bisa memperbaiki semua kesalahan itu segera, tapi kapan aku bisa bertemu Bu Yenni lagi? Bukannya beliau cuma ada di kampus sekali seminggu? Sementara besok, kalau aku tidak bisa daftar, otomatis aku takkan bisa wisuda.

Kuhempaskan tubuhku di kursi tunggu di lobby fakultas. Pupus sudah harapan bisa menyelesaikan studi strata satu dalam kurun waktu tiga setengah tahun.

Kuakui, aku memang terlalu santai mengerjakan skripsi ini. Harusnya dari kemarin-kemarin aku sudah bimbingan dan meneliti lagi setiap kalimat di skripsiku, agar tak ada yang salah tulis atau salah analisa lagi. Mestinya kemarin aku tidak menganggap program pengerjaan skripsi itu mudah. Nyatanya, satu semester masih belum cukup untuk merampungkannya. Dan aku sudah diujung tanduk. Jika tidak bisa menyelesaikan S1 bulan ini, artinya kerja kerasku memperjuangkan semuanya agar bisa selesai dalam tiga setengah tahun, percuma. Dan semua itu disebabkan oleh satu kata : sepele.

Aku terlalu abai dengan skripsi-ku belakangan ini. Saat harusnya tengah getol-getolnya revisi, aku malah menyempatkan diri untuk ikut pelatihan jurnalistik di Sumatera Barat selama seminggu plus liburan ke Riau selama lima hari. Dua belas hari terlewati tanpa sedikitpun menyentuh naskah skripsi yang harusnya sudah selesai kurevisi.
Dan sekarang, aku dihadapkan pada kenyataan kalau aku tidak bisa wisuda bulan ini karena abaiku, karena acuhku sendiri. 
Tes!
Kali ini bukan lagi tetesan keringat, tapi airmata. Ya, aku menangis. Sedih sekali rasanya jika perjuanganku selama lima bulan terakhir berujung sia-sia hanya karena dua belas hari. Separah itukah dampak dua belas hari terhadap lima bulan kemarin?
Ditengah sedu sedan yang kubuat sedemikian rupa untuk mendramatisir keadaan, ponselku berdering. Ada pesan masuk.
“Bsk, jam 9 pagi ibu tunggu di ruangan. Pstikan tdk ada yang salah lagi, ya.”
Bu Yenni.
Ohh Tuhan, besok. Penentuannya adalah besok. Ini kesempatanku. Terimakasih , Allah, telah membukakakan hati Bu Yenni untuk menerimaku bimbingan besok. Padahal harusnya, minggu depan ia baru bisa ditemui.
Semangatku menggebu lagi. Paling tidak, kini aku punya harapan. Kuhabiskan waktu semalam suntuk untuk membaca ulang dan memperbaiki kalimat-kalimat yang keliru dan analisa-analisa yang dangkal. Kuperhatikan lagi coretan-coretan yang dibuat Bu Yenni tadi siang, lantas kurevisi. Ternyata semangat menggebu juga tidak bisa merubah kantuk dan lelah menjadi tetap segar. Aku tertidur di depan laptop yang masih menyala tepat saat aku mendengar adzan Subuh.
Dan tepat pukul 11 esok paginya, aku keluar dari ruangan Bu Yenni dengan senyum lebar. Terlukis tiga huruf yang kuincar dengan manisnya di skripsi yang ku genggam, ‘ACC’. Kerja kerasku selama lima bulan terakhir serta malam panjang yang kulewatkan dengan revisi habis-habisan, tidak berakhir sia-sia. Setelah mendaftar ujian komprehensif, langkah untuk menuju gerbang sarjana tinggal dua saja, lulus ujian komprehensif dan sidang munaqasyah.
Aku mengulum senyum. Kejadian sebulan bulan lalu itu sungguh masih bisa membuatku merasakan sensasi-sensasinya. Masih bisa merasakan degup jantung yang tak beraturan saat tahu akan kemungkinan tidak bisa wisuda bulan itu, juga masih bisa merasakan sensasi dinginnya keringat dan air mata yang menetes di lengan. Tapi semuanya terbayar sudah.
Pesan moralnya, jangan menganggap remeh suatu hal, apapun itu. Karena mungkin akan berdampak pada keberhasilan yang dituju. Dan pastikan semangat tetap menyala di saat paling krisis sekalipun, karena
 tak ada yang mustahil jika Tuhan sudah berkehendak.