Kamis, 16 Agustus 2012

Memperbaiki Sesuatu –Di Masa Lalu—???



Kalau Doraemon meminjamkanmu mesin waktu, adakah yang ingin kau perbaiki dimasa lalu?
Entah kenapa, fikiran itu berkelebat di benakku. Bukan karena baru nonton film Doraemon atau film yang ada hubungannya dengan mesin waktu. Fikiran itu muncul begitu saja. Dan rasanya tergelitik untuk sekedar nge-note. Urusan pantas dipajang di blog atau di note facebook, belakangan. Yang penting uneg-uneg dikeluarin dulu. J
Untuk menjawab pertanyaan iseng di atas, artinya aku harus flashback ke zaman dahulu kala dong ya. Masa kecil mungkin. Eh, kalo masa kecil kejauhan. Lagian kayaknya nih ya, masa kecil, seputaran zaman esde, gag ngaruh-ngaruh amat sama aku yang sekarang. Mungkin masih belum ada hal yang perlu diperbaiki disana.
Hmm, oke, mungkin kita mulai pas zaman esempe aja deh. Well, ada kejadian apakah disana? Hmm… sepertinya semua juga berjalan sebagaimana mestinya. Eh, tapi kalau boleh milih nih ya, kemaren dulu, pas di MAN, aku pernah sedikit bertanya-tanya, kenapa aku gag dimasukin ke pesantren aja ya pas esempe? Toh, dimasukinnya tetep ke sekolah agama, tsanawiyah. So, kenapa gag pesantren aja sekalian? Padahal ayah kan dulunya juga nyantri. Perihal ini tak lagi jadi pertanyaan, soalnya kemaren udah ditanya sama mama, dan katanya, ya mana mama tahu. Mungkin ayah gag mau pisah sama anaknya. Jawaban itu terhenti sampai disitu karena sudah tak mungkin nanya sama ayah, beliau sudah menuju-Nya soalnya.
Eh, iya. Kalau aku dikasi kesempatan untuk memperbaiki masa lalu, aku akan datang ke masa dimana ayah masih belum nikah sama mama. Masa mudanya lah. Nah, disana, aku bakal nyuruh ayah buat stop rokok, jangan suka makan rempelo, kalo naik motor pake jaket yang tebel, pokonya jaga kesehatan sebaik-baiknya. Terlepas itu bakal pengaruh sama usianya, paling tidak, hidup sehat akan membuat mereka lebih baik. huaaa. Kalo inget gimana ayah pas sakit, bolak balik masuk rumah sakit, sampe cuci darah dua kali seminggu, sumpah, airmata bakal jatuh bergelas-gelas. Ayah itu sosok pria dengan kesabaran yang luar biasa. Terus, punya cinta yang besaaaarrr banget buat kami. Aku khususnya. Mungkin karena cewek sendiri kali ya. Kan biasa tuh kalo ayah bakal lebih dekat sama puterinya, dan ibu akan lebih dekat sama puteranya. Ahh, apapun itu, yang pasti aku dan kedua adik lelakiku juga sayang banget sama ayah. Jadi, jangan heran kalo selepas beliau pergi, kami yakin takkan ada seorangpun yang bisa menggantikan posisinya dihati kami. Tak seorangpun.
Beralih ke masa setelahnya aja deh ya. Jadi gag asik kalo nulis yang sedih-sedih.
Hmm, dulu pas di MAN kan aku ngambil IPS tuh. Bukan karena gag bisa di IPA, cuma aku ngerasa IPS itu lebih asik aja. Lagian, emang kenapa kalo aku di IPS? Toh, IPS juga dapat IPS-1 dari 4 kelas IPS. Dan aku gag pernah ngerasa anak IPA lebih jago dibanding anak IPS. Kita sama-sama jago dibidang kita masing-masing. Jadi gag usah kereak kalo lu anak IPA. Gag bakal ngiri gue. :D
Dulu itu, walau aku basicnya udah agama dari sejak esempe sama esema, aku tetep nganggap masuk kampus agama itu gag banget. “IAIN? Ahh, no way!” itu kataku dan kata teman-temanku dulu. Gag tau kenapa pamor kampus itu tuh rendah banget dimata kami. Jadilah kami ikutan bimbingan buat ngikutin SNM-PTN bareng-bareng saking ogahnya masuk kampus itu.
Nah, kemaren itu aku pengen ambil jurusan bahasa inggris di PTN negeri. Terserah masuknya di sastra atau pendidikan, yang penting bahasa inggris. Jadilah aku milih Pend. Bhs Inggris di Unimed sama Pend. Bhs Inggris di UNRI. Dan ternyata, sodara-sodara, saya lulus di UNRI. Kebayang gag lu gimana suenengnya. :D Tapi, ternyata taqdir berkata lain. Mama tak mengizinkan daku berangkat dengan buanyaaak banget alasan. Lantas aku bisa apa? Ya cuma bisa nurut lah.
Setelah itu semua takdir mengantarkanku ke kampus yang dulu selau ku olok-olok. Menjadi bagiannya. Huaaahhh… dan sejak itu, aku tak berminat lagi dengan bahasa inggris. Hatiku terpaut pada ekonomi islam, jurusan yang akhirnya kupilih.
Menyesal? Kemarin dulu memang iya. Tapi sekarang, aku mensyukuri setiap helai dari takdir-takdir itu. Karena aku tahu, inilah yang terbaik. Mungkin aja kalo aku jadi ke UNRI, aku gag bisa selesai dalam waktu tiga setengah tahun, ngambil jurusan bahasa inggris? Memangnya sekarang siapa yang gag bisa bahasa inggris? Trus, gimana pula akhlak-ku? Ibadahku? Ahh, apapun ceritanya, hal yang patut ku syukuri takdir itu mengantarkanku kesini.
Dengan membiarkan takdir membawa aliran itu secara alami, sepertinya lebih menyenangkan. Dengan mensyukuri saja semua yang sudah terjadi, menjalaninya akan terasa lebih ringan. Anggap saja setiap luka, kecewa, sakit, bahagia, dan semua rasa itu adalah bagian dari pendewasaan diri. Lagi pula, toh Doraemon takkan pernah meminjamkan mesin waktunya pada kita. Karena ia tahu, kita pasti akan menyalahgunakannya. Jadi, kalau seandainya dia benar-benar menawarkannya padaku, aku akan bilang, “terimakasih, aku sudah cukup bahagia dengan kehidupanku sekarang.”

Keputusan-Keputusan Kecil Part II


-->
Kesempatan Kedua, Adakah?
Suatu kebodohan yang berakhir pada penyesalan telah meninggalkanmu.
Aku kembali. Aku datang untuk menjemput hati yang kemarin pernah kutinggalkan. Aku hadir dengan segunung penyesalan. Masih tak pupus harapku untuk bersama mu lagi. Mengulang cerita indah kita kemarin. Masihkah ada ruang untukku? Masihkah kau mau menerima kepulanganku?
Setelah semua kebodohan ini, aku tersadar, tak ada hati lain untukku berlabuh. Tak ada tempat sebaik dan seindah hatimu. Aku tahu itu sejak dulu, gadisku. Aku tahu. Kebodohan jualah yang menyeretku untuk melakukan hal terbodoh sepanjang sejarah yang pernah kutoreh : meninggalkanmu.
Mimpi-mimpi yang dulu pernah kurajutkan untuk kita, untuk memayungi langkah kita, kubongkar sendiri-tanpa sadar sepertinya.
Lelah.
Penat.
Peluh.
Tak pernah kuhiraukan awalnya. Aku yakin kau pun mencintaiku meski tak pernah berujar demikian. Kemarin dulu, aku cukup puas dengan sikapmu yang biasa saja, meski tak menunjukkan isi hatimu. Aku, saat itu, merasa sudah cukup baik dengan keadaan kita. dengan kebersamaan yang dingin itu. Dengan tatapan tanpa rasa yang selalu berhasil kau tusukkan ke sanubariku sampai aku kian yakin : kau pun mencintaiku, dengan caramu.
Tapi kemudian, dia hadir, gadisku. Dia, dengan tatapan penuh cinta, dengan sentuhan penuh kasih dan dengan senyum sehangat mentari pagi. Menawan. Kemarin dulu, kau masih tetap lebih rupawan dimataku, dihatiku. Dinginnya sikapmu, kurasa bagai hujan di sahara jiwa. Menenangkan.
Sampai di satu detik saat aku merasa hujan yang terus menerus itu mulai menenggelamkan separuh dari sahara itu. Aku gelagapan, berusaha tetap tenang. Bertahan untuk tetap mengapung meski aku sudah yakin hanya tinggal menunggu detik sampai aku ikut tenggelam. Dan ya, aku bertahan. Sampai aku benar-benar hampir kehabisan nafas.
Sekelebat bayangmu yang kuharap kemarin dapat mengirimiku sekedar tempat untuk bergantung, menghilang. Dan ia hadir. Membawaku dengan lembut dan penuh cinta. Menghangatkan jiwa. Meluruhkan dinginnya hati menjadi sehangat mentari pagi. Ia memapahku untuk bangkit berdiri. Menunjukkan bahwa masih ada sinar yang harusnya bisa kusambut jika sinar itu tak kunjung kudapat darimu.
Aku mencintaimu, gadisku. Sungguh. Tapi saat itu, aku benar-benar sedang sangat lelah. Aku mulai merasa tak sanggup lagi menanggung dinginnya cinta yang kau tawarkan. Aku pun butuh mentari yang menghangatkan. Dan itu ada padanya. Dia bersedia menyinariku meski dia tahu saat itu, masih kau yang ada disini, di hati ini.
Ia terus ada, terus, sampai aku terbuai akan indahnya cinta yang ia tawarkan.
Dan aku, memutuskan melangkah bersamanya. Meninggalkanmu yang aku tahu, saat itu menatapku pilu. Berharap aku tak beranjak. Tapi, sumpah gadisku, saat itu, aku terlalu hanyut dalam alunan musiknya yang hangat. Aku saat itu bosan dengan kebekuan yang selalu tercipta diantara kita. Aku ingin menikmati cinta itu. Cinta yang wajar.
Untuk itu, aku beranjak. Bergegas melangkah bersamanya. Meninggalkanmu dengan airmata berurai.
Tapi, kemudian aku sadar. Tak ada hati lain untukku berlabuh. Tak ada tempat sebaik dan seindah hatimu. Aku tahu itu sejak dulu, gadisku. Aku tahu. Kebodohan jualah yang menyeretku untuk melakukan hal terbodoh sepanjang sejarah yang pernah kutoreh : meninggalkanmu.
Dengan segala sesal, aku kembali. Berharap kau masih menyisakan sedikit ruang untukku. Agar aku bisa memperbaiki kesalahan fatalku. Aku tahu, kau berhati malaikat. Kau akan memaafkanku. Aku percaya.
Dan, sungguh, aku masih melihat cinta di matamu. Aku masih dapat merasakan ketulusan dalam tatapanmu yang kini terlihat…sendu.
Aku semakin sadar, suatu kebodohan yang berakhir pada penyesalan telah meninggalkanmu.
“Kau harusnya tak perlu kembali. Aku baik-baik saja disini.”
Kalimatmu mengoyak rinduku.
Aku tak pernah menyangka kalau kau akan mengatakannya. Aku lebih suka kau memakiku dengan semua makian yang menyakitkan. Kalimatmu terlalu baik untukku yang sudah menyayatkan sembilu. Aku pantas mendapatkan yang lebih buruk. Akan kuterima apapun itu. Tapi jangan seperti itu. Tolong.
“Sungguh, aku baik-baik saja,” ujarmu sambil tersenyum.
Senyum yang sangat kukenal. Kau benar-benar terluka.
Aku kemudian merengkuhmu. Membiarkanmu menangis dengan bebas di pelukku. Awalnya kau meronta. Tapi kemudian senggukan itu mulai kudengar. Kau menangis. Pilu sekali aku harus mendengar tangisan pedih dari orang yang sangat kucintai.
“Maafkan kesalahan yang pernah ada. Aku berjanji takkan mengulanginya.”
Terbata, aku mengatakannya.
Kau diam.
Senyap menyergap kita sampai suara itu terdengar. Suara dari lelaki yang aku kini tak tahu harus berterimakasih padanya atau malah membencinya. Ia telah membantumu bangkit sepeninggalku, menemanimu merangkai hari-hari baru. Tapi, apakah aku harus tetap berterimakasih meski pada akhirnya ia membuatmu memalingkan wajah dariku?
Ia menghampiri kita.
Aku jelas menangkap raut tak suka di wajahnya.
“Kita pulang, Div?”
Aku tak tahu apakah kalimatnya barusan itu bernada pertanyaan atau pernyataan. Ia hanya mengulurkan tangan yang kemudian kau sambut. Ia menuntunmu berjalan menjauhiku. Kamu tahu seperti apa sakitnya? Ya, mungkin kamu memang tahu. Aku saja yang baru tahu kalau melihat orang yang kita cintai melangkah bersama orang lain sangat menyesakkan. Dan seperti inilah kamu saat kemarin kutinggalkan? Aku menyesal Diva. Aku sangat menyesal.
Dengan segala penyesalanku, aku bermohon pada Tuhan agar ia membukakan hatimu untuk memberiku kesempatan. Sekali lagi. Dan aku berjanji takkan menyia-nyiakannya.
“Tak adakah kesempatan kedua itu, Div?”
Kelu, aku bertanya. Langkahmu terhenti. Untuk sepersekian detik, aku berdoa agar kau bersedia berbalik arah, sekedar melihat raut penyesalan yang menggunung di mataku. Dan ya, kau menoleh.
Aku masih dapat melihat jelas airmata yang terus jatuh membasahi pipimu. Aku dapat merasakan sakit itu. Sungguh. Dan untuk itu, aku ingin mengobati lukamu, aku ingin memperbaiki kesalahanku.
Kumohon, kesempatan. Sekali lagi.
Aku tak tahu seperti apa lelaki itu telah membawamu melangkah untuk melihat pelangi sehabis badai, Diva. Yang ku tahu, aku pun akan membuatmu bahagia. Aku hanya butuh kesempatan itu untuk membuktikannya.
Kau terus menatapku dengan linangan air mata yang bahkan aku tak bisa menghapusnya. Aku masih merasakan cinta itu, Diva. Masih. Meski samar.
Lelaki itu kemudian melepaskan genggamannya di jemarimu, membiarkanmu memilih.
Harapan muncul kembali dibenakku. Ia telah merelakanmu, Diva. Kesempatan kedua itu, tolonglah.
Tapi kemudian kau berbalik, membelakangiku. Meraih tangannya, dan berujar padaku, “bagiku, kau adalah masa lalu.”
Aku terpaku. Takkan ada kesempatan kedua untuk hati yang sudah terlalu sakit. Tak apa, Diva. Ia mungkin memang lelaki yang lebih baik dariku. Caranya yang membiarkanmu memilih cukup untuk membuktikannya. Kau akan bahagia dengannya, aku percaya. Biarkan aku menyesali kebodohanku sampai puas.
Sekarang, mari mainkan film kita masing-masing. Biarkan kisah lalu menjadi pelajaran berharga untuk hidup kita. Kenangan yang mungkin akan kita rindukan nantinya.
Kini, mari kita berdoa, semoga kita sama-sama bahagia. []